Ancaman Kerugian Negara Akibat Operasional Aplikasi Cross Border di Indonesia

Seiring dengan perkembangan zaman, kini banyak aplikasi berbasis digital yang digunakan untuk mempermudah aktivitas masyarakat, salah satunya adalah penggunaan aplikasi electronic commerce (e-commerce) yang digunakan sebagai sarana jual beli berbasis elektronik. Namun seiring dengan perkembangan zaman, kini telah banyak aplikasi e-commerce yang dapat beroperasi secara lintas batas negara (cross border) untuk menawarkan berbagai layanan diluar batas negara asal mereka, salah satu aplikasi tersebut adalah TikTok. Aplikasi TikTok melalui layanan TikTok Shop, menawarkan konsep baru yaitu social commerce dengan memadukan layanan media sosial dan juga e-commerce. Dengan konsep social commerce, aplikasi TikTok tidak hanya berfungsi sebagai media sosial, namun juga sebagai platform belanja, sehingga pengguna dapat berbelanja sembari menggunakan media sosial. Dengan memadukan layanan media sosial dan juga e-commerce dapat memberikan manfaat lebih bagi penjualan produk, karena promosi produk dapat dilakukan dengan mengacu pada preferensi pengguna yang dilihat berdasarkan rekam jejak penggunaan media sosial, sehingga kemudian promosi dapat dilakukan dengan efektif. 

Aplikasi Temu merupakan aplikasi e-commerce cross border asal China, aplikasi tersebut bekerja secara business to consumer yang dimana aplikasi tersebut dapat menghubungkan produk dari pabrik kepada pembeli tanpa melalui perantara. Adanya aplikasi Temu dapat menyederhanakan rantai pasok, yang kemudian dapat turut berpengaruh terhadap harga jual produk menjadi lebih murah karena tidak adanya peran pihak ketiga. Namun hadirnya aplikasi lintas batas seperti TikTok dan Temu dapat menyebabkan kerugian bagi negara, seperti adanya praktik predatory pricing, dan juga potensi kehilangan penerimaan pajak akibat operasional aplikasi yang dilakukan dari luar Indonesia. 

Praktik predatory pricing yang dilakukan oleh para penjual dalam aplikasi TikTok dan Temu dilakukan dengan menjual produk dengan harga yang jauh lebih murah dibandingkan produk sejenis yang dijual oleh pelaku usaha lain didalam pasar domestik Indonesia. Praktik predatory pricing tersebut dapat terjadi karena penjual memanfaatkan celah dalam perpajakan Indonesia yaitu adanya ketentuan ambang batas de Minimis pajak bea impor yang dapat mempengaruhi harga jual produk. De minimis bea impor merupakan ketentuan perpajakan yang tidak diterapkan sepenuhnya sebagai akibat nilai pajak terutang yang bernilai rendah atau nilai tidak melebihi batas nilai minimal yang ditetapkan. 

Cara yang dilakukan oleh para penjual barang dalam aplikasi TikTok dan Temu untuk memenuhi ketentuan de minimis adalah dengan menjual barang dengan cara ecer dan dijual dalam batas tertentu, dengan cara tersebut dapat memastikan bahwa kuantitas dan nilai barang yang dijual tetap berada pada ambang batas nilai minimal de minimis, sehingga tidak ada pajak tambahan yang menyebabkan kenaikan harga barang. Adanya praktik predatory pricing yang dilakukan melalui aplikasi TikTok dan Temu merugikan pelaku usaha dalam pasar domestik. Bagi pelaku usaha, adanya praktik predatory pricing tersebut, menciptakan persaingan yang tidak sehat yang merugikan mereka, yang dimana dengan harga produk yang lebih murah, menyebabkan konsumen beralih untuk membeli produk yang ditawarkan dalam aplikasi tersebut dibandingkan membeli produk sejenis yang dijual dalam pasar domestik.

Selain adanya praktik predatory pricing, dengan situasi aplikasi yang beroperasi di Iuar Indonesia, menyebabkan pemerintah Indonesia kehilangan penerimaan pajak. Mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 210/PMK.010/2018 tentang Perlakuan Perpajakan atas Transaksi Perdagangan melalui Sistem Elektronik (e-commerce), terdapat ketentuan Pengusaha Kena Pajak (PKP) kepada penjual yang telah memiliki penghasilan bruto dalam jumlah tertentu, namun dengan sifat aplikasi yang lintas batas negara, mempersulit pengenaan peraturan tersebut pada e-commerce cross border.

Kebijakan Pemerintah Untuk Mencegah Kerugian Akibat Aplikasi E-Commerce Cross Border

Untuk mencegah kerugian akibat aplikasi e-commerce cross border, pemerintah melalui Kementerian Perdagangan kemudian mengeluarkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 31 Tahun 2023 tentang Perizinan Berusaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha Dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik. Melalui peraturan tersebut, pemerintah berupaya menutup celah yang sebelumnya dimanfaatkan oleh aplikasi tersebut yaitu dengan mengharuskan pengurusan izin usaha sebagai e-commerce di Indonesia dan menetapkan harga minimum barang yang dijual melalui aplikasi tersebut. 

Dengan adanya kewajiban bagi aplikasi e-commerce cross border untuk mendapatkan izin agar dapat beroperasi di Indonesia, maka hal tersebut memberikan peluang bagi pemerintah Indonesia untuk menggali potensi perpajakan dari aplikasi tersebut. Dengan memiliki izin tersebut, pemerintah dapat mendapatkan data penting mengenai valuasi transaksi dan data penghasilan penjual, data tersebut dapat menjadi dasar bagi pemerintah untuk menggali potensi perpajakan untuk menambah penerimaan negara. Selain itu, kewajiban tersebut juga dapat mencegah kerancuan fungsi aplikasi apakah aplikasi tersebut merupakan media sosial atau merupakan e-commerce, karena dua jenis aplikasi tersebut memiliki fungsi dan regulasi yang berbeda.

Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 31 Tahun 2023 tentang Perizinan Berusaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha Dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik juga menetapkan ambang batas harga minimum barang jadi yang langsung dijual pedagang ke Indonesia melalui e-commerce dengan harga USD 100 per unit. Penetapan tersebut dapat membantu untuk menutup celah ketentuan de minimis yang dimana apabila nilai barang tidak melebihi batas nilai minimal maka tidak akan dikenakan pajak. Dengan adanya ketentuan tersebut, maka para penjual tidak dapat melakukan praktik predatory pricing dengan menjual produk dengan harga jauh dibawah harga yang ditawarkan oleh pedagang lokal.

Dapat dipahami bahwa Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 31 Tahun 2023 tentang Perizinan Berusaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha Dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik merupakan suatu kebijakan kompetisi, yang dimana pemerintah Indonesia berupaya untuk mengatur kompetisi antara pelaku usaha domestik dengan importir agar dapat bersaing dengan sehat, tanpa merugikan pihak manapun termasuk negara.

Referensi

CNN Indonesia (2024). Apa Itu Aplikasi Temu yang Disebut jadi Ancaman UMKM Indonesia?. https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20240621173005-192-1112536/apa-itu-aplikasi-temu-yang-disebut-jadi-ancaman-umkm-indonesia. 

Deyanputri, N. F. (2020). Pengaruh Kebijakan Penurunan Ambang Batas Pembebasan Bea Masuk Nilai Impor Barang Kiriman (De Minimis) terhadap Volume Impor Barang Kiriman Indonesia (PMK No 199/PMK. 10/2019). Transparansi: Jurnal Ilmiah Ilmu Administrasi, 3(2), 149-159.

Indarwati, T. A., Dhenabayu, R., Pradana, R. M., & Dewi, H. S. C. P. (2023). Perceived Ease of Use on Purchasing Decisions in E-Commerce: a case study of TikTok social media. INTERNATIONAL JOURNAL OF ECONOMICS, MANAGEMENT, BUSINESS, AND SOCIAL SCIENCE (IJEMBIS), 3(1), 24-35.

Mahran, Z. A., & Sebyar, M. H. (2023). Pengaruh Peraturan Menteri Perdagangan (PERMENDAG) Nomor 31 Tahun 2023 terhadap Perkembangan E-commerce di Indonesia. Hakim1(4), 51-67.

#LombaArtikel #TaxOlympic2024