Tidak bisa dimungkiri, kasus fraud (financial crime fraud) dalam dunia perpajakan di Indonesia menjadi ancaman serius terhadap pendapatan negara dan keseimbangan ekonomi. Praktik ilegal ini menyangkut pemalsuan laporan keuangan secara sengaja dengan maksud untuk mengurangi jumlah pajak yang harus dibayar sebagaimana mestinya. Fraud dalam dunia perpajakan, dilakukan dengan berbagai cara, seperti manipulasi informasi, serta penghindaran dan penggelapan pajak. Meskipun telah melalui proses audit forensik yang memastikan akurasi dalam catatan keuangan, ada kalanya tindakan pelanggaran hukum dan etika terjadi di perusahaan. Nyatanya, kasus ini bisa terjadi jika pelaku memiliki kesempatan, tekanan, pembenaran, dan kemampuan.

Kasus penggelapan pajak (tax evasion) sudah merajalela di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini terbukti dengan rendahnya rasio pajak Indonesia sebesar 10,21% pada tahun 2023 dibandingkan dengan negara-negara di kawasan Asia lainnya. Selain itu, kasus PT Perisai Samudera Mandiri (PSM) dapat menjadi contoh nyata bahwa pemalsuan laporan keuangan dapat dilakukan untuk memanipulasi pajak yang harus dibayarkan. Faktur pajak yang ada tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya (TBTS). Sepanjang tahun 2010-2012, tindakan ilegal tersebut dibuktikan dengan membayarkan pajak sebesar Rp1,6 miliar, yang seharusnya Rp16 miliar. Sebagai hukuman, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menetapkan denda sebesar Rp33 miliar dan 2,5 tahun penjara terhadap Zulfikar Shafdar Zamzami, eks direktur PT PSM.

Dari kasus fraudulent financial reporting PT PSM yang dilakukan dengan mengubah (conversion) dan menyembunyikan (concealment), sudah saatnya kasus seperti ini segera diberantas sebelum terungkap. Penegakan integritas dan kepercayaan publik harus diperkuat di lingkungan perusahaan, ataupun Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Solusi yang dapat dilakukan yaitu menjadi pelapor (whistleblower) kasus fraud dalam perpajakan. 

Whistleblowing System (WBS) sangat diperlukan untuk perlawanan dan pertahanan atas fraud, peningkatan kepercayaan publik, serta mencegah pelanggaran di lingkungan DJP. Whistleblower dapat berupa pegawai dan masyarakat sebagai pelapor pelanggaran, serta dilakukan secara langsung atau tidak langsung kepada DJP. Hal ini jelas tertulis dalam dasar hukum PER-22/PJ/2011 yang diterbitkan oleh DJP. Bilamana masyarakat merasa diperas, diintimidasi, serta mendengar terjadinya pelanggaran, dapat langsung melaporkan ke DJP dengan bukti cukup dan kontak yang dapat dihubungi. Tentunya, pelapor memiliki hak perlindungan kerahasiaan identitas serta mendapat penghargaan atas kasus yang telah dilaporkannya. 

Meskipun WBS memiliki manfaat yang nyata, implementasinya seringkali menantang. Kekhawatiran terkait privasi pelapor, ketakutan akan balasan, dan potensi penyalahgunaan sistem menjadi tantangan utama. Oleh karena itu, diperlukan kerangka kerja pegawai DJP yang baik untuk melindungi kerahasiaan pelapor dan menindaklanjuti pengaduan secara adil.

Pengaduan terhadap perbuatan berupa fraud yang melanggar perundang-undangan, peraturan, kode etik, serta KKN dapat dilakukan dengan berbagai cara:

  1. Pengaduan langsung: help desk Direktorat KITSDA;
  2. Kring pajak: (021) 1500200;
  3. Surat elektronik: kode.etik@pajak.go.id, pengaduan@pajak.go.id;
  4. Saluran telepon: (021) 52970777; 
  5. Sistem Informasi Kepegawaian Masing-Masing Pegawai (SIKKA)
  6. Surat tertulis kepada Direktur KITSDA (pengaduan terkait kode etik dan disiplin);
  7. Surat tertulis kepada Direktur P2Humas (pengaduan terkait pelayanan perpajakan); dan
  8. Surat tertulis kepada Direktur Penegakan Hukum (dugaan pelanggaran berupa tindak pidana di bidang perpajakan).

Ada kalanya kita, sebagai generasi milenial yang berani dan bertanggung jawab, menemukan kasus kecurangan dan penggelapan pajak yang tidak etis dalam lingkungan kerja setempat ataupun oleh pegawai DJP. Kemungkinan masih terjadi praktik pelanggaran yang belum terekspos dan ternyata terjadi di sekitar kita. Sudah saatnya kita harus berani menjadi whistleblower sejati dengan pengetahuan perpajakan yang matang demi mewujudkan Indonesia yang sejahtera melalui pemberantasan kasus fraud. Kita dapat berperan sebagai mata dan telinga yang peka terhadap tindak pidana perpajakan dengan pengetahuan yang matang tentang sistem perpajakan dan kemampuan untuk mengidentifikasi praktik-praktik yang mencurigakan. Sesuai prinsip dasar WBS yaitu Early Detection, Indonesia membutuhkan generasi yang berpartisipasi menjadi whistleblower aktif sebagai perwujudan pertahanan dan perlawanan terhadap praktik fraud. Jika kita sendiri belum dapat menjadi pelapor, kontribusi sebagai penyuluh pajak juga sangat penting dengan cara memberikan informasi kepada orang lain bahwa pajak merupakan hal yang vital dan dibutuhkan negara. Jadilah masyarakat yang sadar, cinta, dan patuh terhadap hukum perpajakan, sebab aksi kita sangat dibutuhkan!

Referensi

Asmarani, N. G. (2021, Juni 14). Pencegahan Fraud dalam Perpajakan, DJP Punya Sistem Deteksi Dini. Diambil kembali dari DDTC News: https://news.ddtc.co.id/komunitas/kampus/30545/pencegahan-fraud-dalam-perpajakan-djp-punya-sistem-deteksi-dini

Rachman, A. (2024, Januari 2). Rasio Pajak RI Bertahan Double Digit di 2023, 10,21% dari PDB. Diambil kembali dari CNBC Indonesia: https://www.ssas.co.id/rasio-pajak-ri-bertahan-double-digit-di-2023-1021-dari-pdb/#:~:text=Rasio%20Pajak%20RI%20Bertahan%20Double,dari%20PDB%20%E2%80%93%20Suryani%20Suyanto%20%26%20Associates&text=CNBC%20Indonesia%20%E2%80%93%20Kementerian%20Keuangan%20(K

Saputra, A. (2020, April 9). Manipulasi Pajak, Eks Direktur PT PSM Didenda Rp 33 M dan 2,5 Tahun Bui. Diambil kembali dari detikNews: https://news.detik.com/berita/d-4971014/manipulasi-pajak-eks-direktur-pt-psm-didenda-rp-33-m-dan-2-5-tahun-bui

#LombaArtikel #TaxOlympic2024