Tahukah kamu bahwa negara yang kuat adalah negara yang didukung oleh rakyat. Mengapa demikian? karena keberhasilan suatu negara tidak hanya ditentukan oleh kekuatan militer, ekonomi, atau aparaturnya saja, namun juga oleh dukungan dan partisipasi rakyatnya. Dukungan serta partisipasi dari rakyat memberikan negara bekal bagi pemerintahan untuk membangun negara yang stabil, sejahtera, dan demokratis. Nah, salah satu bentuk partisipasi rakyat untuk membangun negara adalah melalui pajak!

Pajak merupakan instrumen penting yang berperan sebagai sumber pendapatan utama suatu negara. Menurut data dari Kementerian Keuangan, 80% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) bersumber dari penerimaan pajak tahunan yang dikumpulkan oleh rakyat. Hal ini menyebabkan pajak memiliki peran yang sangat penting dalam membiayai berbagai program pembangunan nasional, seperti pendidikan, kesehatan, infrastruktur, pertahanan, dan upaya penanggulangan kemiskinan. 

Berdasarkan pada proyeksi Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk Indonesia diperkirakan mencapai 282,97 juta jiwa pada pertengahan tahun 2024. Angka pertumbuhan penduduk ini menujukkan adanya peningkatan sebesar 1,54% dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Berdasarkan piramida penduduk, Indonesia telah didominasi oleh penduduk usia produktif, yakni usia 15-64 tahun sebanyak 193,75 juta jiwa atau setara dengan 68,52% dari total penduduk pada tahun 2024. Ternyata, sebagian besar dari usia produktif tersebut ditempati oleh generasi Y atau generasi milenial.

Pemerintah ternyata memiliki target penerimaan pajak tahun 2024 sebesar Rp2.309,9 triliun. Namun, hingga 22 Juni 2024 kemarin, realisasi penerimaan pajak Indonesia baru mencapai Rp549,2 triliun, atau setara dengan 23,81% dari target yang ditetapkan dalam APBN tahun 2024. Dalam data yang telah dikumpulkan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menunjukkan bahwa hanya 14,8% milenial yang terdaftar sebagai Wajib Pajak. Angka ini dinilai sangat tertinggal jauh, apabila dibandingkan dengan generasi sebelumnya, seperti generasi X (35,2%) dan Baby Boomer (52,1%). 

Sistem pemungutan pajak di Indonesia juga cukup unik, yaitu dengan Self Assessment System. Penerapan sistem ini bertujuan mendorong Wajib Pajak untuk bertanggung jawab secara mandiri untuk menghitung, menyetorkan, dan melaporkan pajak mereka. Namun, karena tidak adanya pengawasan dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP), menyebabkan kewajiban membayar pajak tergantung pada kejujuran Wajib Pajak masing-masing. Sehingga, tidak dapat dipungiri bahwa penerapan Self Assessment System juga memberi celah yang besar bagi masyarakat untuk tidak patuh pajak. 

Kalau Begitu, Kira-kira Apakah Kepatuhan Pajak Benar-benar Dibutuhkan?

Dalam Undang-Undang Dasar 1945, telah tertulis bahwa cita-cita bangsa Indonesia adalah menjadi Negara Kesejahteraan (welfare state). Konsep Negara Kesejahteraan didefinisikan sebagai suatu konsep dimana negara bertanggung jawab untuk melindungi dan menjamin kesejahteraan sosial dan ekonomi bagi masyarakatnya. Konsep Negara Kesejahteraan ini sejalan dengan teori utilitarianisme yang dikembangkan oleh Jeremy Bentham. Menurut Bentham, tindakan dapat dinilai berdasarkan kebahagiaan atau kesejahteraan terbesar bagi jumlah orang yang besar juga. Dalam mengupayakan terwujudnya negara kesejahteraan, sumber utama pendanaan konsep ini berasal dari pajak.

Teori utilitarianisme tersebut memandang pajak sebagai investasi untuk mendanai program dan layanan seperti pendidikan, kesehatan, jaminan sosial, infrastruktur, dan penelitian, yang meningkatkan standar hidup, mengurangi kemiskinan, dan meningkatkan peluang bagi semua orang. Itulah mengapa, kepatuhan pajak menjadi fondasi penting bagi negara untuk berfungsi secara efektif, karena apabila masyarakat patuh dan membayar pajak dengan sukarela, maka pemerintah akan memiliki sumber daya yang dibutuhkan untuk menjalankan program dan layanannya.

Namun, pada praktiknya, kepatuhan pajak justru cenderung menurun karena berkurangnya antusiasme milenial terhadap pajak. Meski tidak lahir dalam era teknologi digital, generasi milenial merupakan generasi yang mudah beradaptasi pada perkembangan teknologi. Generasi milenial dibesarkan dalam skeptisisme terhadap pemerintah. Tumbuh dengan paparan berita korupsi, skandal penyalahgunaan dana pajak, dan kebijakan lain yang tidak sejalan dengan norma yang ada, memicu ketidakpercayaan yang mendalam dari generasi milenial terhadap pemerintah yang mengelola pajak. Ketidakpercayaan ini berdampak pada pembangunan nasional. 

Lantas, Benarkah Ketidakpatuhan Pajak Adalah Solusi Dari Semua Dilema?

Meskipun generasi milenial memiliki keraguan yang besar terhadap pemerintah yang mengelola pajak, tidak membayar pajak bukan solusi yang tepat. Pajak adalah kewajiban hukum yang harus dipenuhi oleh setiap warga negara dan merupakan sumber utama pendanaan bagi layanan publik yang penting. Membayar pajak adalah bentuk partisipasi dan kontribusi warga negara dalam pembangunan bangsa. Ketidakpatuhan pajak dapat menghambat pembangunan nasional dan merugikan masyarakat secara keseluruhan. 

Alih-alih tidak membayar pajak, sebagai generasi penerus bangsa, generasi milenial dapat berkolaborasi dengan pemerintah. Hal ini bertujuan untuk menumbuhkan kembali kepercayaan serta meningkatkan sistem perpajakan agar menjadi lebih adil, efisien, dan akuntabel. Kolaborasi-kolaborasi yang dapat dilakukan antara lain adalah:

  1. Edukasi dan Sosialisasi Pajak: Pemerintah berperan untuk menyediakan edukasi dan sosialisasi pajak yang komprehensif dan mudah dimengerti bagi generasi milenial, seperti seminar, workshop, dan pelatihan pajak yang menarik dan interaktif. Oleh karena itu, generasi milenial juga harus aktif mengikuti edukasi dan sosialisasi pajak yang disediakan pemerintah.
  2. Pemanfaatan Teknologi: Untuk menumbuhkan kepercayaan, pemerintah dapat mengembangkan portal informasi terpadu yang menyediakan semua informasi terkait pajak, mulai dari dasar hukum perpajakan di Indonesia, hingga langkah-langkah pelaporan pajak. Hal ini bertujuan agar generasi milenial dapat memantau secara real-time kemana saja arah penggunaan pajak yang telah dikumpulkan.
  3. Meningkatkan Partisipasi Masyarakat: Disediakannya ruang dialog dan diskusi antara pemerintah dengan generasi milenial yang membahas mengenai isu-isu perpajakan. Dalam forum diskusi ini dapat menjadi wadah bagi generasi milenial untuk mengajukan pertanyaan dan memberikan masukan kepada pemerintah terkait dengan sistem perpajakan yang ada.

Dengan upaya kolaborasi yang kuat dan berkelanjutan antara pemerintah dan generasi milenial, keraguan terhadap sistem pajak dapat perlahan hilang. Melalui edukasi, transparansi, dan akuntabilitas, generasi milenial akan memiliki motivasi untuk patuh membayar pajak. Kepatuhan pajak generasi milenial bukan hanya kewajiban, namun juga investasi untuk masa depan bangsa. Dengan pajak, kita membangun infrastruktur, meningkatkan kualitas pendidikan dan kesehatan, serta menciptakan lapangan kerja. Mari wujdukan Indonesia Emas 2045, dimulai dengan kepatuhan pajak hari ini!

Referensi 

Firdaus, N. D., Indriana, M. R., Muizzah, U., & … (2023). Strategi Harmoni Hak dan Kewajiban Bela Negara Melalui Pajak. Jurnal Pendidikan Transformatif (JPT), 02(06), 24–34. 

Hindria, R. (2020). Tax Morale dan Generasi Muda di Indonesia (Studi Kasus di UPN “Veteran” Jakarta). Prosiding Seminar Nasional Dan Call for Paper Tax Center UPN “Veteran” Yogyakarta, 115–120.

Rahmadani, M., & Fauzihardani, E. (2024). Analisis Perbedaan Tingkat Pemahaman Pajak dan Moral Pajak pada Generasi Milenial dan Generasi Z Indonesia. Jurnal Eksplorasi Akuntansi, 6(2), 551–564.

#LombaArtikel #TaxOlympic2024